Kamis, 12 November 2009

Pengaruh Pemberian Minuman Beralkohol Terhadap Berat Testis dan Gambaran Histopatologis Testis Mencit



I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alkohol merupakan substansi yang paling banyak digunakan di dunia, dan tidak ada obat lain yang dipelajari sebanyak alkohol. Dari segi kimiawi, alkohol merupakan suatu senyawa kimia yang mengandung gugus OH. Istilah alkohol sendiri pada awalnya berasal dari bahasa Arab “Al Kuhl” yang digunakan untuk menyebut bubuk yang sangat halus yang biasanya dipakai untuk bahan kosmetik khususnya eyeshadow. Sejak 5000 tahun yang lalu, alkohol digunakan sebagai minuman dengan berbagai tujuan, seperti sarana untuk komunikasi transedental dalam upacara kepercayaan dan untuk memperoleh kenikmatan (Dewi, 2009).

Adapun alkohol yang terkandung dalam minuman keras adalah etanol (CH3CH2 -OH) yang diperoleh dari proses fermentasi (Adiwisastra, 1987; Joewana, 1989; Wilbraham dan Michael, 1992). Etanol didapat dari proses fermentasi biji-bijian, umbi, getah kaktus tertentu, sari buah dan gula yang mengandung malt (Adiwisastra, 1987; Joewana, 1989). Kadar alkohol hasil fermentasi tidak lebih dari 14%, untuk mendapatkan kadar alkohol yang lebih tinggi dibuat melalui proses penyulingan. Kandungan alkohol pada berbagai minuman keras berbeda-beda, kebanyakan bir mengandung 3-5% alkohol, anggur 10-14%, sherry, port, muskatel berkadar alkohol 20%, dry wine 8-14 %, cocktail wine 20-21 % sedangkan wisky, rum, gin, vodka dan brendi berkadar alkohol 40-50% (Joewana, 1989).

Kegunaan etanol selain sebagai pelarut, antiseptik, minuman (Dreisbach, 1971) juga sebagai bahan makanan, dalam industri farmasi dan sebagai bahan bakar (Adiwisastra, 1987). Alkohol yang terkandung dalam minuman merupakan penekan susunan saraf pusat, di samping itu juga mempunyai efek yang berbahaya pada pankreas, saluran pencernaan, otot, darah, jantung, kelenjar endokrin, sistem pernafasan, perilaku seksual dan efek-efek terhadap bagian lainnya, sekaligus sebagai penyebab terjadinya sindrom alkohol fetus (Dreisbach, 1971; Schuckit, 1984; Lieber, 1992).

Etanol larut dalam air, sehingga akan benar-benar mencapai setiap sel setelah dikonsumsi (Miller dan Mark, 1981). Alkohol yang dikonsumsi akan diabsorpsi termasuk yang melalui saluran pernafasan. Penyerapan terjadi setelah alkohol masuk ke dalam lambung dan diserap oleh usus kecil. Hanya 5-15% yang diekskresikan secara langsung melalui paru-paru, keringat dan urin (Schuckit, 1984; Adiwisastra, 1987). Alkohol mengalami metabolisme di ginjal, paru-paru dan otot, tetapi umumnya di hati, kira-kira 7 gram etanol per jam, dimana 1 gram etanol sama dengan 1 ml alkohol 100% (Schuckit, 1984).

Keadaan yang merugikan pada pengkonsumsi alkohol diakibatkan oleh alkohol itu sendiri ataupun hasil metabolismenya. Sesuai dengan pendapat Miller dan Mark (1991), etanol mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung (Panjaitan, 2003).

Diperkirakan lebih dari 85% penduduk di AS pernah mengomsumsi alkohol sekurang-kurangnya satu kali dalam seumur hidupnya dan sekitar 51% dari semua orang dewasa di AS merupakan pengguna alkohol yang cukup rutin hingga sekarang ini. Penyalahgunaan alkohol lebih umum terjadi di masyarakat yang berpendapatan rendah dan kurangnya pendidikan (Harimurti, 2009).

Sekurang-kurangnya terdapat 200.000 kematian yang berhubungan dengan alkohol tiap tahunnya. Kelompok usia dengan presentasi penggunaan alkohol tertinggi adalah antara 20 tahun hingga 35 tahun sedangkan dari jenis kelamin, laki-laki secara bermakna lebih mungkin menggunakan alkohol daripada wanita. Dari segi ras, penggunaan alkohol lebih banyak terdapat pada kaum kulit putih dibandingkan dengan kaum kulit hitam (Harimurti, 2009).

Mengonsumsi minuman beralkohol pada pria dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada testis dan hipotalamus, yang pada akhirnya akan mengurangi produksi testosteron dan terjadinya feminisasi (Panjaitan, 2003). Selain itu, pengaruh etanol pada organ reproduksi pria dapat berupa keterlambatan pubertas, atrofi testis, disfungsi ereksi, ginekomastia, gangguan proses spermatogenesis hingga infertilitas (Foa, 2004). Laporan klinis berupa ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam keseimbangan hormon steroid. Ginekomastia dan atrofi testis juga ditemukan pada pecandu alkohol yang memiliki sedikit bukti gangguan hati (Masters, 2002). Sumber lain juga menyebutkan bahwa penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi testosteron dan penyusutan testis (atrofi testis) (Adler, 1992).

Istilah penyalahgunaan alkohol yang sering digunakan adalah alkoholisme. Gangguan individu dalam menjalankan fungsinya baik secara sosial, keluarga, pekerjaan dan aktivitasnya sehari-hari yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol adalah salah satu gangguan berhubungan yang paling sering, serius dan berbahaya di dalam masyarakat kita (Harimurti, 2009).

Sedikitnya 14 juta orang Amerika memenuhi kriteria penyalahgunaan alkohol atau alkoholisme, tetapi diagnosis dan penanganan medis yang tertunda sampai penyakit tersebut menjadi parah dan berkomplikasi dengan berbagai masalah sosial dan kesehatan, sehingga penanganan menjadi sulit (Fleming et al.,2007). Hal tersebut yang mendorong perlunya dilakukan penelitian mengenai pengaruh minuman beralkohol, terutama pada perubahan berat dan gambaran histopatologis sel germinal testis.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap perubahan berat serta gambaran histopatologis sel germinal testis mencit jantan galur Balb/c.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap perubahan berat testis serta gambaran histopatologis sel germinal testis pada mencit jantan galur Balb/c.

2. Tujuan Khusus

Mengetahui perubahan berat testis dan gambaran histopatologis sel germinal testis yang dihasilkan dari setiap kelompok mencit jantan galur Balb/c akibat pemberian minuman beralkohol dosis 0,56 ml, dosis 0,80 ml, dan dosis 1,12 ml.

D. Manfaat Penelitian

1. Membuktikan adanya pengaruh penggunaan minuman beralkohol dengan dosis yang biasa digunakan pada manusia yang dikonversikan ke dosis mencit terhadap perubahan berat testis dan gambaran histopatologis sel germinal testis.

2. Membantu pembaca untuk menambah pengetahuan tentang pengaruh mengonsumsi minuman beralkohol.

3. Memberikan gambaran bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih baik tentang minuman beralkohol dengan jenis atau dosis yang berbeda.

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi testosteron dan penyusutan testis (atrofi testis) (Adler, 1992). Atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu efek alkohol yang merusak testis, efek alkohol pada LH dan FSH yang merangsang pertumbuhan testis, serta faktor lain seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuele, 1998).

Kegagalan spermatogenesis dicirikan dengan adanya atrofi testis yang berhubungan dengan oligospermia dan azoospermia (Van Thiel et al., 1991). Atrofi testis terjadi karena hilangnya sel sperma dan penurunan diameter tubulus seminiferus (Van Thiel et al., 1974). Kegagalan spermatogenesis juga dipicu oleh efek alkohol yang menghambat aktivitas alkohol dehidrogenase untuk membentuk retinal. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan spermatogenesis, karena retinal merupakan senyawa yang esensial untuk berlangsungnya spermatogenesis (Nugroho, 2007).

Acetaldehyde (produk metabolisme alkohol) memiliki sifat toksik ke sel Leydig daripada alkohol itu sendiri (Van Thiel et al. 1983; Santucci et al. 1983). Untuk mengetahui apakah ada hubungan efek alkohol terhadap hipotalamus dan hipofisis, penelitian dilakukan dengan mengeluarkan hipofisis anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada atau tidaknya alkohol. Hasilnya ternyata alkohol menurunkan kadar LH bahkan dengan hipofisis yang sudah terisolasi tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van Thiel et al. 1983; Santucci et al. 1983).

Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan proses spermatogenesis tidak terjadi, yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).



2. Kerangka Konsep





F. Hipotesis

Terdapat perubahan berat testis dan gambaran histopatologis sel germinal testis akibat dari pemberian minuman beralkohol pada mencit.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Alkohol (Ethanol)

1. Definisi

Alkohol terutama dalam bentuk ethyl alcohol (ethanol), telah mengambil tempat penting dalam sejarah umat manusia paling sedikit selama 8000 tahun. Saat ini, alkohol dikonsumsi secara luas. Sama seperti obat-obat sedatif-hipnotik lainnya, alkohol dalam jumlah rendah sampai sedang bisa menghilangkan kecemasan dan membantu menimbulkan rasa tenang atau bahkan euphoria. Akan tetapi, alkohol juga dikenal sebagai obat yang paling banyak disalahgunakan di dunia, suatu alasan yang tepat atas kerugian besar yang mesti ditanggung masyarakat dan dunia medis (Masters, 2002).

Orang Arab mengembangkan distilasi sekitar tahun 800 M, dan kata alkohol berasal dari Bahasa Arab yang berarti sesuatu yang lemah. Ahli kimia pada abad pertengahan merasa tertarik oleh spirit yang tidak tampak yang terdistilasi dari anggur dan menduga zat tersebut merupakan suatu obat untuk hampir semua penyakit. Istilah wiski berasal dari kata usquebaugh, bahasa Keltik untuk air kehidupan, dan alkohol menjadi komponen utama tonik dan eliksit yang banyak diperdagangkan. Kandungan alkohol minuman berkisar dari 4 % sampai 6 % (volume/volume) untuk bir, 10% sampai 15 % untuk anggur, dan 40 % dan lebih tinggi untuk spirit hasil distilasi. Proof (kekuatan alkohol) minuman mengandung alkohol dua kali persen alkoholnya (sebagai contoh, alkohol 40 % adalah 80 proof) (Fleming et al. 2007).

Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasanya mengonsumsi minuman beralkohol secara teratur. Mayoritas dari populasi peminum ini bisa menikmati efek memuaskan yang diberikan alkohol tanpa menjadikannya sebagai risiko terhadap kesehatan. Bahkan fakta terbaru menunjukkan bahwa konsumsi ethanol secukupnya bisa melindungi beberapa orang terhadap penyakit kardiovaskular. Akan tetapi, sekitar 10% dari populasi umum di Amerika Serikat tidak mampu membatasi konsumsi ethanol mereka, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyalahgunaan alkohol. Individu-individu yang terus meminum alkohol tanpa mempedulikan adanya konsekuensi yang merugikan secara medis dan sosial yang berkaitan langsung dengan konsumsi alkohol mereka tersebut akan menderita alkoholisme, suatu gangguan kompleks yang nampaknya ditentukan oleh faktor genetis dan lingkungan (Masters, 2002).

Alkoholisme sulit untuk menentukan jumlah alkohol yang dikonsumsi tetapi dapat diketahui jika kebiasaan tersebut dalam beberapa cara memengaruhi kehidupan seseorang secara bertolak belakang. Alkoholisme menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, meningkatkan toleransi terhadap efek alkohol, dan ketergantungan fisiologik (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Ethanol dan masih banyak jenis-jenis alkohol lainnya dengan efek toksik digunakan di industri, beberapa di antaranya dalam jumlah yang sangat besar yakni seperti methanol dan ethylene glycol (Masters, 2002).

2. Farmakokinetika Ethanol

Setelah pemberian oral, etanol diabsorpsi dengan cepat dari lambung dan usus halus ke dalam aliran darah dan terdistribusi ke dalam cairan tubuh total (Fleming et al., 2007). Tingkat absorpsi paling tinggi pada saat lambung kosong. Adanya lemak di dalam lambung menurunkan tingkat absorpsi alkohol (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Setelah minum alkohol dalam keadaan puasa, kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam waktu 30 menit. Distribusinya berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan mendekati kadar di dalam darah. Volume distribusi dari ethanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7 L/kg) (Masters, 2002). Alkohol didistribusikan di dalam tubuh (terutama dalam jaringan adiposa), menyebabkan efek dilusi. Hal ini berkaitan dengan berat badan dan menerangkan mengapa orang obese memiliki kadar alkohol yang lebih rendah daripada orang yang kurus untuk jumlah alkohol yang sama (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Pada dosis oral ekuivalen dari alkohol, kaum wanita mempunyai konsentrasi puncak lebih tinggi dibandingkan kaum pria, sebagian disebabkan karena wanita mempunyai kandungan cairan tubuh total lebih rendah. Di dalam sistem saraf pusat, konsentrasi ethanol meningkat dengan cepat karena otak menampung sebagian besar aliran darah dan ethanol melewati membran biologi dengan cepat (Masters, 2002).

Lebih dari 90% alkohol yang digunakan dioksidasi di dalam hati, sebagian besar sisanya dikeluarkan lewat paru-paru dan urine (Masters, 2002). Ekskresi alkohol di dalam urine dan udara yang dihembuskan biasanya sedikit, tetapi berjumlah konstan yang berkorelasi dengan BAC (blood alcohol concentration). Hal ini merupakan prinsip yang mendasari penggunaan pemeriksaan urin dan napas pada forensik di samping uji darah (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Proporsi alkohol yang konsisten lewat paru-paru juga dimanfaatkan untuk uji alkohol lewat pernapasan (breath alcohol test) yang berfungsi sebagai dasar bagi definisi legal dari “mengemudi di bawah pengaruh” (driving under influence) di banyak negara. Orang dewasa tipikal dapat memetabolisme 7-10 g (150-220 mmol) alkohol per jam, yang ekuivalen dengan kira-kira 10 oz bir, 3,5 oz anggur, atau 1 oz minuman keras yang disuling dengan kadar murni 80 (Masters, 2002). Jalur utama metabolisme alkohol menjadi acetaldehyde telah diketahui, yakni sebagai berikut :

a. Alur Alcohol Dehydrogenase

Jalur utama bagi metabolisme alkohol meliputi alcohol dehydrogenase (ADH), yaitu enzim sitosol yang mengatalisasi perubahan alkohol menjadi acetaldehyde. Enzim ini terdapat terutama di dalam hati, tetapi juga ditemukan di dalam organ-organ lain, misalnya otak dan perut (Masters, 2002). Dalam jumlah yang berarti metabolisme ethanol oleh ADH lambung terjadi di dalam lambung kaum pria, tetapi dalam jumlah kecil terjadi pada kaum wanita, yang nampaknya memiliki kadar enzim lambung lebih rendah (Frezza dkk., 1990).

Selama perubahan ethanol menjadi acetaldehyde, ion hydrogen ditransfer dari alkohol pada nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) untuk membentuk NADH. Sebagai hasil akhir, oksidasi alkohol menyebabkan penurunan ekuivalen yang berlebihan di dalam hati, terutama sebagai NADH. Produksi NADH yang berlebihan inilah nampaknya yang mendasari sejumlah gangguan metabolisme yang menyertai alkoholisme kronis (Masters, 2002).

b. Sistem Oksidasi Ethanol di Mikrosom (MEOS)

Sistem enzim ini, yang juga dikenal sebagai sistem oksidasi campuran, menggunakan NADPH sebagai kofaktor dalam metabolisme ethanol. Pada konsentrasi dalam darah di bawah 100 mg/dL (22 mmol/L), sistem MEOS, yang memiliki Km relatif tinggi untuk alkohol, memberikan sedikit pengaruh terhadap metabolisme ethanol. Akan tetapi, bila ethanol dalam jumlah besar dikonsumsi, sistem alcohol dehydrogenase menjadi jenuh karena pengosongan jumlah kofaktor yang dibutuhkan NAD+.. Bila konsentrasi ethanol meningkat di atas 100 mg/dL, akan terjadi peningkatan peran dari sistem MEOS, yang mana tidak mengandalkan NAD+ sebagai kofaktor (Masters, 2002).

Selama konsumsi alkohol secara kronis, aktivitas MEOS meningkat. Induksi enzim ini dikaitkan dengan meningkatnya berbagai macam unsur pokok retikulum endoplasma yang halus di dalam hati. Sebagai akibatnya, konsumsi alkohol yang terus-menerus akan menyebabkan peningkatan yang berarti tidak hanya dalam metabolisme ethanol tetapi juga dalam klirens obat-obat lain yang dieliminasi oleh sistem enzim mikrosomal hepatis (Masters, 2002).

c. Metabolisme Acetaldehyde

Sebagian besar acetaldehyde yang dibentuk dari alkohol tampaknya akan dioksidasi di dalam hati. Sementara itu, beberapa sistem enzim mungkin bertanggung jawab atas reaksi ini, mithocondrial NAD+-dependent aldehyde dehydrogenase nampaknya menjadi jalur utama bagi oksidasi acetaldehyde. Produk dari reaksi ini adalah acetate, yang mana selanjutnya mengalami metabolisme menjadi CO2 dan air. Konsumsi alkohol kronis akan menurunkan kecepatan penurunan oksidasi acetaldehyde dalam mitikondria yang utuh (Masters, 2002).

Gambar 3. Metabolisme Ethanol (Masters, 2002)

3. Konsekuensi dari Konsumsi Alkohol Kronis

Ethanol merupakan obat yang sangat lemah yang membutuhkan konsentrasi ribuan kali lebih tinggi daripada obat-obat lain yang disalahgunakan (misalnya cocaine, opium, amphetamine) untuk menyebabkan efek intoksikasinya, maka ethanol sering dikonsumsi dalam jumlah yang cukup besar untuk mengkualifikasikannya sebagai makanan. Gangguan dalam metabolisme yang disebabkan oleh konsumsi kronis dalam jumlah besar dari obat yang kaya energi ini akan menyebabkan toksisitas organ yang dapat dilihat selama penggunaan kronis, sama halnya dengan malnutrisi dan defisiensi vitamin yang sering menyertai alkoholisme. Konsumsi kronis alkohol dalam jumlah besar mempunyai kaitannya dengan meningkatnya risiko kematian, meski minum pada konsentrasi rendah sampai sedang mempunyai efek protektif (Masters, 2002).

Tidak semua pecandu kronis mengalami komplikasi, dan tidak ada hubungan langsung dengan penyalahgunaan yang dialaminya. Hanya 10-20 % peminum berat yang secara klinis mengalami penyakit hati kronis yang signifikan, dan lebih dari setengahnya tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit hati. Kebanyakan penderita penyakit hati alkoholik kronis memiliki riwayat asupan sekitar 200 gram alkohol per hari selama lebih dari sepuluh tahun. Risiko signifikan penyakit hati kronis terjadi pada asupan 50 gram per hari (Fleming et al., 2007).

Adapun konsumsi alkohol secara nyata sangat mempengaruhi fungsi beberapa organ vital, sebagai berikut :

a. Hati dan Saluran Cerna (Gastrointestinal)

Penyakit hati merupakan komplikasi medis yang paling umum dari penyalahgunaan alkohol, diperkirakan bahwa sekitar 15-30% peminum berat yang kronis pada akhirnya akan menderita penyakit hati yang parah. Penyakit hati alkoholik yang berarti secara klinis pada mulanya mungkin tidak diketahui, selanjutnya berkembang tanpa bukti yang jelas adanya ketidaknormalan nutrisi. Perlemakan hati alkoholik yaitu suatu kondisi yang reversibel yang mungkin berkembang menjadi hepatitis alkoholik dan akhirnya menjadi sirosis dan gagal hati. Risiko perkembangannya penyakit hati itu adalah erat kaitannya dengan jumlah rata-rata konsumsi sehari-hari dan lamanya penyalahgunaan alkohol. Faktor lainnya yang meningkatkan risiko penyakit hati yang parah adalah adanya infeksi bersamaan dengan virus hepatitis B dan C (Masters, 2002).

Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung dan pankreas serta mengubah rintangan mukosa, dengan demikian akan meningkatkan risiko terjadinya gastritis dan pankretitis. Pecandu alkohol kronis sangat mudah menderita gastritis dan sangat peka terhadap hilangnya protein dan plasma darah selama meminum alkohol, yang mungkin memberikan kontribusi terjadinya anemia dan malnutrisi protein. Alkohol juga secara reversibel dapat merusak usus kecil, menyebabkan diare, menurunkan berat badan dan defisiensi berbagai macam vitamin (Masters, 2002).

b. Sistem Saraf

Sekitar 10 % peminum alkohol berlanjut sampai mencapai tingkat konsumsi yang merusak secara fisik dan sosial (Fleming et al., 2007). Peminum alkohol kronis, bila dipaksa untuk mengurangi atau menghentikan meminum alkohol, akan mengalami sindroma putus obat yang menunjukkan adanya kebergantungan fisik. Gejala-gejala putus alkohol secara klasik terdiri dari hipereksitabilitas dalam kasus-kasus yang ringan dan konvulsi, psikosis toksik, dan delirium tremens. Kebergantungan psikologi terhadap alkohol ditandai oleh keinginan berulang yang harus dilaksanakan (compulsive desire) untuk memperoleh efek-efek yang menyenangkan dari alkohol dan, untuk peminum pemula, keinginan untuk menghindari akibat-akibat negatif dari reaksi putus obat (Masters, 2002).

Alkoholisme merupakan penyebab utama demensia di Amerika Serikat (Oslin et al., 1998). Penyalahgunaan alkohol kronis menyebabkan penciutan otak akibat kehilangan materi putih dan materi abu-abu (Krill dan Halliday, 1999).

c. Kardiovaskular

Konsumsi alkohol yang berat selama jangka waktu yang lama dikaitkan dengan terjadinya kardiomiopati yang meluas dengan hipertrofi ventrikuler dan fibrosis. Kerusakan langsung pada miokardium yang disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol pada mulanya diduga disebabkan oleh defisiensi thiamin atau bahan kontaminan di dalam minuman yang mengandung alkohol. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kardiomiopati terjadi juga bahkan pada keadaan di mana tidak terjadi defisiensi vitamin atau diet sehari-hari (Masters, 2002).

Hal yang mengherankan, insiden penyakit jantung baik pria maupun wanita diketahui lebih rendah pada pengonsumsi alkohol moderat (satu sampai tiga minuman dalam sehari) daripada mereka yang tidak pernah minum (Suh dkk., 1992). Mekanisme paling dapat diterima untuk menjelaskan efek protektif alkohol tesebut adalah kemampuan alkohol untuk meningkatkan kadar dalam serum dari High-density lipoprotein cholesterol (HDL) (Gaziano, 1993), jenis kolesterol yang nampaknya menjadi pelindung terhadap aterosklerosis dengan cara menghilangkan kolesterol bebas dari dinding arteri (Masters, 2002).

d. Darah

Gangguan hematologis yang terlihat pada peminum kronis berupa anemia ringan yang diakibatkan oleh defisiensi folic acid terkait alkohol . Anemia kekurangan zat besi mungkin disebabkan oleh perdarahan gastrointestinal (Masters, 2002). Anemia mikrositik dapat terjadi karena kehilangan darah secara kronis dan defisiensi besi. Penggunaan alkohol juga menyebabkan trombositopenia yang reversibel. Jumlah platelet di bawah 20.000 jarang terjadi (Fleming et al., 2007). Alkohol juga terlibat sebagai penyebab dari beberapa sindroma hemolitik, beberapa di antaranya berkaitan dengan hiperlipidemia dan penyakit hati yang parah (Masters, 2002).

e. Sistem Endokrin dan Fungsi Seksual

Walaupun banyak orang percaya bahwa alkohol dapat meningkatkan aktivitas seksual, tetapi efek yang sebaliknya lebih sering teramati. Banyak obat yang disalahgunakan termasuk alkohol mempunyai efek disinhibisi yang pada awalnya dapat meningkatkan libido. Namun, penggunaan alkohol jangka panjang dan berlebihan sering menyebabkan penurunan fungsi seksual. Alkohol dapat menyebabkan impotensi pada pria setelah penggunaan akut maupun kronis. Insidensi impotensi dapat terjadi sampai pada 50 % pasien alkoholisme kronis (Sikkink dan Fleming, 1992). Van Thiel dkk. (1974) mencatat bahwa impotensi sangat sering terjadi di antara pasien dengan kerusakan hati yang lebih parah (Emanuele, 1998). Selain itu, banyak pecandu kronis akan mengalami atrofi testikular dan penurunan fertilitas (Fleming et al., 2007) serta pengurangan ciri seksual sekunder pria (misalnya, pengurangan rambut wajah dan dada, pembesaran payudara, dan pergeseran posisi lemak dari perut ke daerah pinggul) (Emanuele, 1998). Laporan klinis berupa ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam keseimbangan hormon steroid (Masters, 2002). Hal ini terjadi pada 75% pria dengan sirosis alkoholik lanjut (Lloyd dan Williams 1948). Ginekomastia dan atrofi testis juga ditemukan pada pecandu alkohol yang memiliki sedikit bukti gangguan hati (Masters, 2002).

Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi testosteron dan penyusutan testis (atrofi testis) (Adler 1992). Atrofi testis terutama disebabkan hilangnya sel-sel sperma dan penurunan diameter tubulus seminiferus (Van Thiel et al. 1974). Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan kemungkinan melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik alkohol langsung pada sel Leydig (Fleming et al., 2007). Produk metabolisme alkohol yaitu acetaldehyde memiliki sifat toksik ke sel Leydig daripada alkohol itu sendiri (Van Thiel et al. 1983; Santucci et al. 1983).

Kadar testosteron dapat menurun, tetapi banyak pria yang ketergantungan alkohol mempunyai kadar testosteron dan estrogen normal (Fleming et al., 2007). Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan efek alkohol terhadap hipotalamus dan hipofisis yaitu dengan mengeluarkan hipofisis anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada atau tidaknya alkohol. Hasilnya ternyata alkohol menurunkan kadar LH bahkan dengan hipofisis yang sudah terisolasi tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van Thiel et al. 1983; Santucci et al. 1983). Hal ini selaras dengan Emanuelle (1998) yang menyebutkan bahwa atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu salah satunya adalah efek alkohol pada LH dan FSH yang merangsang pertumbuhan testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang merusak testis, serta faktor lain, seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuelle, 1998).

Penggunaan alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang berada pada testis, dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi retinal. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis retinal di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan spermatogenesis, karena retinal merupakan senyawa yang esensial untuk berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugraha, 2007).

Alkohol menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresikan GnRH (Gonadotrophine Releasing Hormon), FSH (Follicle Stimulating Hormon), dan LH (Luteinizing Hormon) (Wright, 1991). Rees (2005) juga menyebutkan bahwa alkohol akan dapat menyebabkan gangguan sintesis dan sekresi GnRH hipotalamus. Kegagalan ini akan menyebabkan kegagalan hipofisis untuk melakukan sintesis dan sekresi FSH maupun LH, yaitu terjadinya penurunan GnRH yang diikuti dengan penurunan sekresi LH dan FSH. Selanjutkan akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig untuk mensintesis testosteron dan sel Sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse cell (Nugroho, 2007).

Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan proses spermatogenesis tidak terjadi, yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).

Walaupun penghentian alkohol dapat memulihkan banyak masalah seksual, tetapi pasien dengan atropi gonadal yang cukup parah kemungkinan kurang merespons penghentian konsumsi alkohol (Sikkink dan Fleming, 1992). Prognosis untuk pria yang akan berhenti minum alkohol jelas menguntungkan jika tidak ada gagal hati atau gonadal yang signifikan (O’Farrel et al.,1997).

Gambar 4. Tubulus Seminiferus Tikus.

Pemberian ethanol 36 % dalam waktu tujuh minggu (a), (c) sebagai kontrol yang hanya diberi air (Weinberd dan Vogl, 1988)








Gambar 5. Perbedaan Gambaran Testis Normal (A)

dan Atrofi Testis (B) (Robbins dan Cotran, 2004)

Gambar 5 menunjukkan bahwa di testis normal (A) terjadi spermatogenesis yang aktif di tubulus seminiferus. Pada atrofi testis (B) hanya terlihat gambaran sel-sel Sertoli dan tidak adanya proses spermatogenesis pada tubulus. Membran basal menebal dan terjadi peningkatan dari sel-sel Leydig di jaringan intersisial (Robbins dan Cotran, 2004).

f. Keseimbangan Elektrolit

Para pecandu alkohol dengan penyakit hati kronis mungkin mempunyai gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit termasuk asites, edema dan efusi. Faktor-faktor tersebut mungkin berkaitan dengan penurunan sintesis protein dan hipertensi portal. Perubahan kalium seluruh tubuh yang disebabkan oleh diare dan muntah-muntah, dan juga aldosteronisme sekunder yang parah mungkin menyebabkan kelemahan otot dan dapat diperburuk lagi oleh terapi diuretika. Beberapa pasien alkoholik mengalami hipoglikemia, kemungkinan disebabkan oleh kegagalan hepatic glukoneogenesis (Masters, 2002).

g. Fetal Alcohol Syndrome

Penyalahgunaan alkohol yang kronis oleh ibu selama masa kehamilan dikaitkan dengan efek teratogenik yang penting pada keturunannya (Abel, 1981; Ernhart dkk., 1987), dan alkohol tampaknya menjadi penyebab utama keterbelakangan mental dan cacat bawaan. Abnormalitas yang ditandai sebagai fetal alcohol syndrome meliputi keterbelakangan pertumbuhan badan, mikrosefali, koordinasi yang buruk, kurang berkembangnya bagian tengah wajah (nampak seperti wajah yang datar), dan anomali sendi ringan. Mekanisme yang mendasari efek teratogenik dari ethanol belum diketahui (Masters, 2002).

h. Sistem Kekebalan

Efek sekunder dari kebergantungan alkohol, termasuk defisiensi nutrisi dan kondisi sosial seperti tuna wisma, berperan terhadap tingginya tingkat infeksi. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa konsumsi ethanol yang terus-menerus secara langsung akan merusak fungsi kekebalan (Cook, 1998). Hal ini juga bisa menjadi faktor utama yang mendasari meningkatnya insiden jenis kanker tertentu pada pecandu alkohol (Masters, 2002).

Alkohol juga memengaruhi granulosit dan limfosit. Efek meliputi leucopenia, perubahan bagian limfosit, penurunan mitogenesis sel T dan perubahan dalam immunoglobulin (Fleming et al., 2007).

i. Meningkatnya Risiko Kanker

Pemakaian alkohol kronis akan meningkatkan risiko kanker mulut, faring, laring, esophagus, dan hati. Beberapa bukti menunjukkan bahwa terdapat sedikit peningkatan dalam insiden kanker payudara bagi mereka yang kebergantungan alkohol (Schatzkin dkk., 1994). Mengonsumsi minuman beralkohol itu mungkin mengandung karsinogen potensial yang dihasilkan dalam fermentasi atau pemprosesan dan mungkin juga memengaruhi fungsi hati sehingga aktivitas dari karsinogen potensial meningkat (Masters, 2002).

B. Testis

1. Anatomi dan Fisiologi

Kedua testis terletak dalam skrotum dan menghasilkan spermatozoon dan hormon, terutama testosteron. Permukaan masing-masing testis tertutup oleh lamina visceralis tunicae vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan epididimis dan funiculus spermaticus. Tunica vaginalis ialah sebuah kantong peritoneal yang membungkus testis dan berasal dari processus vaginalis embrional. Sedikit cairan dalam rongga tunica vaginalis memisahkan lamina visceralis terhadap lamina parietalis dan memungkinkan testis bergerak secara bebas dalam scrotum (Moore, 2002).

Arteria testikularis berasal dari pars abdominalis aortae, tepat kaudal arteria renalis. Vena-vena meninggalkan testis dan berhubungan dengan plexus pampiniformis yang melepaskan vena testicularis dalam canalis inginalis. Limfe dari testis disalurkan ke nodi lymphoidei lumbales dan nodi lymphoidei pr-eaortici. Saraf autonom testis berasal dari plexus testicularis sekeliling arteria testicularis (Moore, 2002).

Testis terdiri atas 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing mempunyai panjang rata-rata lebih dari 5 meter. Sperma kemudian dialirkan ke dalam epididimis, suatu tubulus lain yang juga berbentuk lilitan dengan panjang sekitar 6 meter. Epididimis mengarah ke dalam vas deferens, yang membesar ke dalam ampula vas deferens tepat sebelum vas deferens memasuki korpus kelenjar prostat. Vesikula seminalis, yang masing-masing terletak di sebelah prostat, mengalir ke dalam ujung ampula prostat, dan isi dari ampula dan vesikula seminalis masuk ke dalam duktus ejakulatorius terus melalui korpus kelenjar prostat dan masuk ke dalam uretra internus. Duktus prostatikus selanjutnya mengalir dari kelenjar prostat ke dalam duktus ejakulatorius. Akhirnya, uretra merupakan rantai penghubung terakhir dari testis ke dunia luar. Uretra disuplai dengan mucus yang berasal dari sejumlah besar kelenjar uretra kecil yang terletak di sepanjang dan bahkan lebih jauh lagi dari kelenjar bulbouretralis (kelenjar Cowper) bilateral yang terletak di dekat asal uretra . (Guyton, 2007).

2. Histologi

a. Tubulus seminiferus

Setiap tubulus ini dilapisi oleh epitel berlapis majemuk. Garis tengahnya lebih kurang 150-250 µm dan panjangnya 30-70 cm. Panjang seluruh tubulus satu testis mencapai 250 m. Tubulus kontortus ini membentuk jalinan yang tempat masing-masing tubulus berakhir buntu atau dapat bercabang. Pada ujung setiap lobulus, lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas pendek yang dikenal sebagai tubulus rektus, atau tubulus lurus, yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran berlapis epitel yang berkesinambungan yaitu rete testis. Rete ini, terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan dengan bagian kepala epididimis oleh 10-20 duktulus eferentes (Junqueira, 2007).

Tubulus seminiferus terdiri atas suatu lapisan jaringan ikat fibrosa, lamina basalis yang berkembang baik, dan suatu epitel germinal kompleks atau seminiferus. Tunika propria fibrosa yang membungkus tubulus seminiferus terdiri atas beberapa lapis fibroblast. Lapisan paling dalam yang melekat pada lamina basalis terdiri darii sel-sel mioid gepeng, yang memperlihatkan ciri otot polos. Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu sel Sertoli atau sel penyokong dan sel-sel yang merupakan garis turunan spermatogenik (Junqueira, 2007).

Gambar 6. Tubulus Seminiferus, Tubulus Rekti, Rete Testis,

dan Duktuli Eferentes (Di Fiore, 2003)

b. Sel-Sel Germinal

Spermatogonium adalah sel primitif benih, yang terletak di samping lamina basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 µm dan intinya mengandung kromatin pucat. Pada keadaan kematangan kelamin, sel ini mengalami sederetan mitosis lalu terbentuklah sel induk atau spermatogonium tipe A, dan mereka berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan spermatogenik, sementara spermatogonium tipe B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Junqueira, 2007).

Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis turunan spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam tahap proses penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).

Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan kedua. Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y) dengan pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki ukuran yang kecil (garis tengahnya 7-8 µm), inti dengan daerah-daerah kromatin padat dan lokasi jukstaluminal di dalam tubulus seminiferus. Spermatid mengandung 23 kromosom. Karena tidak ada fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua dari spermatosit, maka jumlah DNA per sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua ini menghasilkan sel-sel haploid (1N) (Junqueira, 2007).

Gambar 7. Testis Primata (Spermatogenesis) (Di Fiore, 2003)

c. Sel Sertoli

Sel Sertoli adalah sel pyramid memanjang yang sebagian memeluk sel-sel dari garis keturunan spermatogenik. Dasar sel sertoli melekat pada lamina basalis, sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam lumen tubulus seminiferus. Dengan mikroskop cahaya, bentuk sel Sertoli tidak jelas terlihat karena banyaknya juluran lateral yang mengelilingi sel spermatogenik. Kajian dengan mikroskop electron mengungkapkan bahwa sel ini mengandung banyak reticulum endoplasma licin, sedikit reticulum endoplasma kasar, sebuah kompleks Golgi yang berkembang baik, dan banyak mitokondria dan lisosom. Inti yang memanjang yang sering berbentuk segitiga, memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok, memiliki sedikit heterokromatin. Fungsi utama sel Sertoli adalah untuk menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi spermatozoa. Selain itu, sel Sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma selama spermatogenesis, sekresi sebuah protein pengikat androgen dan inhibin, dan produksi hormon anti-Mullerian (Junqueira, 2007).

d. Jaringan interstisial

Celah di antara tubulus seminiferus dalam testis diisi kumpulan jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe. Kapiler testis adalah dari jenis bertingkap yang memungkinkan perpindahan antarmolekul secara bebas seperti darah. Jaringan ikat terdiri atas berbagai jenis sel, termasuk fibroblast, sel jaringan ikat pengembang, sel mast dan makrofag. Selama pubertas, muncul jenis sel tambahan yang berbentuk bulat atau polygonal, memiliki inti di pusat dan sitoplasma eosinofilik dengan banyak tetesan lipid. Sel tersebut adalah sel interstisial atau sel Leydig dari testis, yang memiliki ciri sel pengsekresi steroid. Sel-sel ini menghasilkan hormon pria testosterone, yang berfungsi bagi perkembangan ciri kelamin pria sekunder (Junqueira, 2007). Sifat seksual sekunder ini, selain organ seksual tersebut, membedakan pria dari wanita wanita sebagai berikut:

1). Pengaruh pada penyebaran rambut tubuh di daerah atas pubis, ke atas sepanjang linea alba kadang-kadang sampai ke umbilicus dan di atasnya, pada wajah, biasanya pada dada, dan kurang sering pada bagian tubuh yang lain seperti punggung.

2). Testosteron menurunkan pertumbuhan rambut pada bagian atas kepala.

3). Pengaruh terhadap suara pada awalnya secara relatif menjadi tidak sinkron, “suara serak”, tetapi secara bertahap berubah menjadi suara bass maskulin yang khas.

4). Testosteron meningkatkan ketebalan kulit di seluruh tubuh dan meningkatkan kekasaran jaringan subkutan. Testosteron meningkatkan kecepatan sekresi beberapa atau mungkin semua kelenjar sebasea. Yang paling penting adalah kelebihan sekresi oleh kelenjar sebasea wajah, karena kelebihan sekresi di wajah ini dapat menyebabkan akne.

5). Perkembangan peningkatan muskulatur mengikuti masa pubertas, rata-rata kira-kira 50 % massa otot pria meningkat melebihi massa otot wanita.

6). Testosteron meningkatkan jumlah total matriks tulang dan menyebabkan retensi kalsium.

7). Meningkatkan kecepatan metabolisme basal sekitar 5-10 % di atas nilai yang didapat bila testis tidak aktif.

8). Mempengaruhi sel-sel darah merah, elektrolit dan keseimbangan cairan (Guyton, 2007)

3. Spermatogenesis dan Spermiogenesis

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan seksual aktif dari rangsangan oleh hormon gonadotropin hipofisis anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup (Guyton, 2007). Adapun tahap-tahap spermatogenesis yaitu :

a. Spermatogonia primitif berkumpul tepat di tepi membran basal dari epitel germinativum, disebut spermatogonia tipe A, membelah empat kali untuk membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu spermatogonia tipe B.

b. Spermatogonia bermigrasi kearah sentral di antara sel-sel Sertoli.

c. Untuk jangka waktu rata-rata 24 hari, setiap spermatogonium yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar membentuk suatu spermatosit primer yang besar. Pada akhir hari ke-24, setiap spermatosit terbagi dua menjadi spermatosit sekunder. Pembagian ini disebut sebagai pembagian meiosis pertama.

d. Pada tahap awal dari pembagian meiosis pertama ini, semua DNA di dalam 46 kromosom bereplikasi. Dalam proses ini, masing-masing 46 kromosom menjadi dua kromatid yang tetap berikatan bersama sentromer, kedua kromatid memiliki gen-gen duplikat dari kromosom tersebut. Pada waktu ini, spermatosit pertama terbagi menjadi dua spermatosit sekunder, yang setiap pasang kromosom berpisah sehingga ke-23 kromosom, yang masing-masing memiliki dua kromatid, pergi ke salah satu spermatosit sekunder. Sementara 23 kromosom yang lain pergi ke spermatosit sekunder yang lain.

e. Dalam 2 sampai 3 hari, pembagian meiosis kedua terjadi di mana kedua kromatid dari setiap 23 kromosom berpisah pada sentromer, membentuk dua pasang 23 kromosom, satu pasang dibawa ke satu spermatid dan satu pasang yang lain dibawa ke spermatid yang kedua. Manfaat dari kedua pembagian meiosis ini adalah bahwa setiap spermatid yang akhirnya dibentuk membawa hanya 23 kromosom, memiliki hanya setengah dari gen-gen spermatogonium yang pertama. Oleh karena itu, spermatozoa yang akhirnya membuahi ovum wanita akan menyediakan setengah dari bahan genetic ke ovum yang dibuahi dan ovum akan menyediakan setengah bagian berikutnya.

f. Selama beberapa minggu berikutnya setelah meiosis, setiap spermatid diasuh dan dibentuk kembali secara fisik oleh sel sertoli pembungkusnya, mengubah spermatid secara perlahan-lahan menjadi satu spermatozoon (sebuah sperma) dengan menghilangkan beberapa sitoplasmanya, mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk satu kepala yang padat, dan mengumpulkan sisa sitoplasma dan membrane sel pada salah satu ujung dari sel untuk membentuk ekor (Spermiogenesis).

g. Semua tahap pengubahan akhir dari spermatosit menjadi sperma terjadi ketika spermatosit dan spermatid terbenam dalam sel-sel Sertoli. Sel-sel Sertoli memelihara dan mengatur proses spermatogenesis. Seluruh masa spermatogenesis, dari sel germinal sampai sperma, membutuhkan waktu kira-kira 64 hari (Guyton, 2007).

Gambar 8. Spermatogenesis (Junqueira, 2007)

Kedua testis dari seorang manusia dewasa muda dapat membentuk kira-kira 120 juta sperma setiap harinya. Sejumlah kecil sperma dapat disimpan dalam epididimis, tetapi sebagian besar disimpan dalam vas deferens dan ampula vas deferens. Sperma dapat tetap disimpan dan mempertahankan kualitasnya, dalam duktus genitalis paling sedikit selama satu bulan (Guyton, 2007).

4. Hormon yang Merangsang Spermatogenesis

Hormon-hormon yang berperan dalam spermatogenesis adalah sebagai berikut :

a. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium testis. Hormon ini penting untuk pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma.

b. Hormon lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron.

c. Hormon perangsang folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli ; tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi.

d. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli sedang dirangsang oleh hormon perangsang folikel, yang mungkin juga penting untuk spermiogenesis. Sel-sel Sertoli juga menyekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testosteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan dalam lumen tubulus seminiferus, membuat kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.

e. Hormon pertumbuhan (seperti juga pada sebagian besar hormon yang lain) diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sendiri. Bila tidak terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali (Guyton, 2007).

Gambar 9. Diagram Pengendalian Reproduksi Pria oleh Hipofisis

(Junqueira, 2007)


DAFTAR PUSTAKA


Adiwisastra, A. 1987. Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya.

Penerbit Angkasa: Bandung

Adler, R.A. 1992. Clinically Important Effects of Alcohol on Endocrine Function.

Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 74:957–960.

Anonim. 1999. Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan

Hewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan : Jakarta

Chairman, J.R.K., P.Anderson, A.Bull, D.Cameron, H.Norris dan V. Parker. 1991.

Alcohol and the Public Health. MacMillan Education LTD

Chandrasoma, P dan Taylor, C. R. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.

EGC: Jakarta

Dewi, N. W. E. 2008. Perioperatif pada Pasien dalam Pengaruh Alkohol.

Diakses tanggal 1 Oktober 2009.

http://www. butterflystillfly.wordpress.com20090205perioperatif-pada-

pasien-dalam-pengaruh-alkohol

Dreisbach,R.H. 1971. Handbook of Poisoning: Diagnosis Treatment. 7th.

California: Large Medical Publication

Emanuele, M. A. dan Emanuele, N. V. 1998. Alcohol Effects to Male

Reproduction. Diakses tanggal 2 Oktober 2009.

http://www. pubs.niaaa.nih.govpublicationsarh22-3195.pdf


Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi Di Fiore. EGC: Jakarta

Fleming, M., S.J. Mihic, dan R. A. Harris. 2007. Etanol. Dasar Farmakologi

Terapi. EGC : Jakarta

Foa, A. 2004. Pengaruh Pemberian Etanol Peroral terhadap Gambaran

Histologik Sel-Sel Spermatogenik dan Sel Leydig pada Tikus Putih.

(Thesis). Universitas Airlangga. Diakses tanggal 30 September 2009.

http://www.unair.ac.id

Guyton, A. C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta

Harimurti, G. M. 2009. Gangguan Jantung akibat Alkohol.

            Diakses tanggal 1 Oktober 2009.

http://www.kiatsehat.comwww.kiatsehat.comindex.phppgnm=.artikel0001

000100011049_full.html

Joewana, S. 1989. Gangguan Penggunaan Zat, Narkotika, Alkohol dan Zat Aditif

Lainnya. Gramedia: Jakarta

Junqueira, L. C. 2007. Histologi Dasar. EGC: Jakarta

Lieber,C.S. 1992. Medical dan Nutritional Complication of Alcoholism

Mechamisme and Management. Plenum Medical Book Co: New York dan London

Linder,M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara

Klinis. UI Press: Jakarta

Lloyd, C.W., dan Williams, R.H. 1948. Endocrine Changes Associated with

Laennec’s Cirrhosis. Annals of the American Journal of Medicine

4:315–330.

Loomis,T.A. 1978. Toksikologi Dasar. IKIP Semarang Press: Semarang

Penerbit UI: Jakarta

Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Penerbit UI:    

            Jakarta


Masters, S. B. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Katzung : Alkohol.

            Salemba Medika: Jakarta

Miller,N.S dan Mark, S.G. 1991. Alcohol. Plenum Medical Book Co: New York

dan London

Moore, K. L. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates : Jakarta

Nugroho, C. A. 2007. Pengaruh Minuman Beralkohol terhadap Jumlah Lapisan

Sel Spermatogenik dan Berat Vesikula Seminalis Mencit. (Skripsi).

Universitas Widya Mandala Madiun. Diakses tanggal 1 November 2009.

http://www.uslit2.petra.ac.idejournalindex.phpjiwarticleviewFile17056170

19

Panjaitan, R.G.P. 1997. Uji Pengaruh Etil alkohol Terhadap Perkembangan

Embrio Mencit Putih (Mus musculus L.). (Skripsi). Universitas Andalas. Padang. Diakses tanggal 1 Oktober 2009.

http://www. rudyct.comPPS702-ipb07134ruqiah_gp.htm

Panjaitan, R.G.P. 2003. Bahaya Gagal Hamil yang Diakibatkan Minuman

Beralkohol. Diakses tanggal 2 Oktober 2009.

http://www.rudyct.com

Rees, T.J. 2005. The Toxicology of Male Reproduction. Literature Review

in Applied Toxicology. Portsmouth University

Robbins dan Cotran. 2004. Pathologic Basis of Disease : 7th. W. B. Saunders

Company : Amerika Serikat

Rogers,J.M.,Leonard M.,Neil C., Brenda D.B., Christine I.T., Tina R.L dan

Robert J.K. 1993. The development Toxicity of Inhaled Methanol in the

CD-1 Mouse with QuantitativeDose-Response Modeling for Estimate of

Benchmark Doses the International. Journal of Abnormal Development.

Teratology. 47:175-188.

Treatment. 2th. Plenum Press: New York dan London

Siswandono dan Bambang,S. 1993. Kimia Medisinalis. Airlangga University

Press: Surabaya

Solomon,J. 1982. Alcoholism and Clinical Psychiatri. Plenum Medical Book Co:

New York dan London

Sukarniasih, N.M. ; Sukandar, E.Y. ; Kumolosasi, E. 2000. Evaluasi Khasiat Infus

Buah Musa balbisiana Colla, biji Myristica fragrans Houtt, dan Herba

Phyllanthus niruri Linn sebagai Antitukak Lambung pada Tikus Wistar.

(Skripsi). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Diakses tanggal 1

November 2009.

http://www. bahan-alam.fa.itb.ac.iddetail.phpid=335

Tarter,R.E. dan Davis,H.V.T. 1985. Alcohol and The Brain Chronic Effects.

Plenum MediCal Book Co: New York dan London

Thomson, E. 1985. Drug Bio Screening Fundamental of Drug Evaluation

            Techniques in Pharmacology. Graceway Publ. Co. : Inc. New York

Van Thiel, D.H.; Lester, R.; dan Sherins, R.J. 1974. Hypogonadism in

Alcoholic Liver Disease: Evidence for A Double Defect. Gastroenterology

67:1188–1199.

Van Thiel, D.H.; Lester, R.; dan Vaitukaitis, J. 1978. Evidence for A Defect in

Pituitary Secretion of Luteinizing Hormon in Chronic Alcoholic Men.

Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 47:499–507.

Wright, Harlan I.; Gavaler, Judith S.; dan Van Thiel, David. 1991. Effects of

Alcohol on The Male Reproductive System. Diakses tanggal 3 Oktober

2009.

http://www.findarticles.com